IMB (Izin Mendirikan Bangunan) perlu dibuat bagi Anda yang akan mendirikan rumah, ruko, atau gedung. Memiliki IMB jelas membuat Anda merasa lebih nyaman, karena rumah tak akan dianggap rumah liar tanpa izin.

Terlebih lagi, dengan memiliki IMB nilai rumah Anda akan meningkat. Hal ini jelas akan mempermudah dalam urusan jual beli rumah atau sewa rumah.

Karena itu, berhati-hatilah jika Anda tidak mempunyai IMB atau data IMB Anda tidak sesuai dengan data yang sebenarnya, karena Anda akan dikenakan denda sebesar 10% dari nilai bangunan yang Anda miliki. Jika belum memiliki IMB, pelajari lebih jauh soal IMB, contoh IMB agar Anda mempunyai gambaran, syarat mengajukan IMB, rincian isi IMB dan cara mengurus IMB online, di bawah ini.

IMB (Izin mendirikan Bangunan), sebenarnya telah diatur dalam Undang Undang nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan, Undang Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan PP nomor 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Dalam Undang-Undang tersebut dikatakan IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan. Tentu saja, izin tersebut dibuat  harus sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.

Jadi, IMB merupakan hal yang wajib bagi pemilik bangunan untuk menjamin kejelasan atau eksistensi bangunan atau legalitas bangunan. Selain itu, IMB juga sebagai prasyarat untuk mendapatkan pelayanan utilitas umum, antara lain penyambungan jaringan listrik, air minum, telepon dan gas. Keuntungan lain memiliki IMB, yakni:

  1. Jaminan kredit di bank
  2. Peningkatan status tanah
  3. Informasi peruntukan dan rencana jalan

Jika kita tidak memiliki IMB apa yang terjadi? Selain yang telah disebutkan di atas, Anda akan dikenakan denda sebesar 10% dari nilai atau harga bangunan. Sanksi lainnya yakni pembongkaran bangunan bagi bangunan yang tidak layak fungsi dan tidak dapat diperbaiki, dan pembongkaran bagi bangunan yang dapat menimbulkan bahaya.

Urusan legalitas pada saat membeli rumah atau properti memang tidak bisa diremehkan. Pahami jenis sertifikat rumah dan properti berikut ini. Aspek legalitas saat membeli rumah atau properti adalah hal yang penting untuk diperhatikan. Saat melakukan pembelian, Anda wajib memeriksa surat-surat rumah atau properti, jangan sampai nantinya Anda yang mengalami kerugian. Nah, tahukah Anda, ada lima jenis sertifikat rumah dan properti yang perlu diketahui. Jenis sertifikat rumah atau properti telah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria, yang di dalamnya dijelaskan mengenai lima jenis sertifikat rumah dan properti, yaitu AJB (Akta Jual Beli), HGB (Hak Guna Bangunan), SHM (Setifikat Hak Milik), Girik, dan SHSRS (Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun).

  1. Akta Jual Beli (AJB)
  2. Hak Guna Bangunan (HGB)
  3. Sertifikat Hak Milik (SHM)
  4. Girik
  5. Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun (SHSRS)

Panduan Lengkap Mengurus SPPT

Senangnya, jika Anda telah memiliki rumah sendiri. Setelah menikmatinya, pastikan Anda juga melakukan kewajiban Anda sebagai wajib pajak. Sudahkah Anda mengurus PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)? Sebelum membayarnya, Anda memerlukan SPPT.

 SPPT adalah Surat Pemberitahuan Pajak Terutang. Agar bisa membayar pajak tanpa beban, mari kenali dulu pengertian SPPT, cara mendapatkan SPPT PBB, dan cara melakukan pencarian SPPT PBB.

SPPT Adalah Surat Pemberitahuan Pajak Terutang. Apa Fungsinya?

SPPT adalah Surat Keputusan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terkait pajak terutang dalam satu Tahun Pajak. Fungsinya adalah sebagai dokumen yang menunjukkan besarnya utang atas Pajak Bumi dan Bangunan yang harus dilunasi Wajib Pajak pada waktu yang telah ditentukan.

Sebenarnya, SPPT ini biasa didapat ketika mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan sertifikat. Tapi Anda harus ingat, SPPT bukanlah bukti kepemilikan objek pajak. SPPT adalah penentu atas objek pajak tersebut dan patokan jumlah pajak yang dibebankan terhadap objek pajak tersebut yang harus dibayarkan oleh pemiliknya.

Namun, bisa saja nama yang tercantum di sertifikat berbeda dengan nama yang tercantum dalam SPPT PBB. Bisa jadi ini karena pemilik awalnya tidak melakukan peralihan atau balik nama sertifikat atas tanah dan bangunan tersebut.

Tapi tenang, hal itu tidak akan menjadi masalah. Dalam pembayaran PBB, yang perlu disesuaikan adalah Nomor Objek Pajak (NOP)-nya. Atau ada juga kondisi pada SPPT PBB yang hanya terdapat nama salah satu pemilik saja, jika pemilik objek pajak tersebut lebih dari satu orang.

TOP